![]() |
*Ilustrasi. |
Lubuklinggau – Warunginformasi.co.id
Tanah milik negara semestinya digunakan untuk kepentingan publik. Tapi di beberapa titik, muncul praktik penyewaan lahan milik negara yang dilakukan tanpa izin tertulis, tanpa dasar hukum, dan tanpa catatan resmi.
Lahan negara, baik yang berada di lingkungan fasilitas umum, perkantoran, maupun di titik-titik vital kota, seharusnya dikelola secara transparan dan akuntabel. Namun dalam praktiknya, tidak semua pemanfaatan lahan tercatat sebagaimana mestinya.
Ada indikasi bahwa sebagian lahan justru disewakan secara diam-diam oleh pihak tertentu kepada pihak ketiga. Uang sewa mengalir, tetapi tidak tercatat dalam laporan keuangan negara ataupun daerah. Bahkan, tak jarang transaksi dilakukan tanpa kwitansi atau dokumen resmi, sekadar lisan atau kesepakatan informal.
Padahal, dalam ketentuan hukum, seperti Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, disebutkan bahwa pemanfaatan aset negara atau daerah, termasuk dalam bentuk sewa, wajib mendapatkan izin dari kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk. Prosedurnya harus melalui mekanisme perjanjian resmi dan hasil sewanya masuk sebagai penerimaan negara atau daerah.
Jika praktik ini terus dibiarkan, negara bisa dirugikan dari sisi penerimaan. Lebih dari itu, praktik semacam ini membuka ruang untuk penyalahgunaan kewenangan, bahkan korupsi terselubung.
Transparansi, pencatatan, dan pengawasan menjadi kunci. Sebab ketika lahan milik negara dikelola secara gelap, publik yang dirugikan. Pertanyaannya, siapa yang menyewakan, dan siapa yang menikmati? (MIH)